bukan puisi (lagi)
hei bulan, masih terang menantang? aku rindu satu kecupan selamat malam darimu, seperti kemarin sebelum kamu bertemu bintang dan menghilang
angin tidak berkawan dengan senja, karena itu aku suka padanya. aku benci senja yang mengubah terang jadi gelap, membuat jiwa makin pekat
aku rindu rumah dipadang rumput, meski jauh dari bayanganmu yang ranum, aroma ilalangnya mampu membelai tidurku perlahan
satu hari aku melihat laut pergi, dia menjauh tanpa permisi, menyekat segala jarak yang telah terisi, cinta pun basi
air mata itu seperti janji, janji akan sebuah tawa esok hari. dan kali ini aku memilih untuk menyimpannya, karena tahu tawa itu belum tersedia
saat nada hanya terdengar seperti jeritan kesedihan, dan kata hanya jadi jelmaan kesengsaraan, mungkin lebih baik aku menunduk, menyimpan airmata
aku mau tidur, mengistirahatkan hati, semoga matahari esok pagi bawa tawa yang mungkin akan muncul di mimpi, selamat malam perih
ternyata tak banyak yang bisa kuceritakan tentangmu bulan, selain sinar hangat, tatapan lembut dan kebisuan yang menggigit kelu kalbu
romantika malamku bukan untuk diadu dengan seruan pecintamu. aku menabung sekian cinta untuk masa depanmu. ceritamu denganku
bintang masih menatapmu dengan kerlingan manjanya yang kutahu mulai meragu. bintang itu pasti tak sehangat diriku saat memelukmu
bulan, boleh kita bertukar cerita malam seperti dulu? aku rindu, padamu
bisu, kamu bisu, kamu selalu membisu. bulan, tolong urai
mataku bukan semacam tayangan biru yang mencandu, jadi tak perlu kamu menatapku namun tetap bisu. katamu lebih menagih buatku
maaf aku membasahi timelinemu dengan sedu
matahari mencuri hari, padahal aku masih ingin menanti bulan tanpa pagi, dia mencibir, mengataiku seperti lendir, lemah dan tak berguna
hei lelah, mari bergelayut manja! aku bosan bertatap duka! aku ingin hingar terbaca, lalu nyenyak tercipta, meski bulan masih dalam diamnya
ranum-harum-lebam-kelam-sesak-isak-galau-sengau-rindu-kamu
masih tanpa kata, menunggu tanpa waktu. kamu dimana putus asa? bersembunyi bersama ragu menderu? atau hanya tak ingin bertemu?
hujan diluar mengetuk pintuku. kuhampiri dengan pilu. ada tawa menyesak, rindu menyeruak. dingin sepertinya tidak pernah datang sndiri
sungguh hati dan mata ini bersama-sama ingin terpejam. dinding berdetak, tidak kencang. seperti membaca gundah yang ada. membunuh sisa tawa
Tuhan, boleh aku bertanya? kenapa ada senja yang mematikan bahagia dan menenggelamkan ceria? apa hanya agar aku bertemu bulan dan kebisuannya?
karena jika iya, itu sungguh tak berguna. bulan itu takkan menggembalikan percaya. aku hanya tahu dia. aku hanya pernah mengenalnya
jadi Tuhan, boleh kembalikan aku ke tempat semula?
Tengah malam antara hari pertama dan kedua di bulan tujuh
-2010-
angin tidak berkawan dengan senja, karena itu aku suka padanya. aku benci senja yang mengubah terang jadi gelap, membuat jiwa makin pekat
aku rindu rumah dipadang rumput, meski jauh dari bayanganmu yang ranum, aroma ilalangnya mampu membelai tidurku perlahan
satu hari aku melihat laut pergi, dia menjauh tanpa permisi, menyekat segala jarak yang telah terisi, cinta pun basi
air mata itu seperti janji, janji akan sebuah tawa esok hari. dan kali ini aku memilih untuk menyimpannya, karena tahu tawa itu belum tersedia
saat nada hanya terdengar seperti jeritan kesedihan, dan kata hanya jadi jelmaan kesengsaraan, mungkin lebih baik aku menunduk, menyimpan airmata
aku mau tidur, mengistirahatkan hati, semoga matahari esok pagi bawa tawa yang mungkin akan muncul di mimpi, selamat malam perih
ternyata tak banyak yang bisa kuceritakan tentangmu bulan, selain sinar hangat, tatapan lembut dan kebisuan yang menggigit kelu kalbu
romantika malamku bukan untuk diadu dengan seruan pecintamu. aku menabung sekian cinta untuk masa depanmu. ceritamu denganku
bintang masih menatapmu dengan kerlingan manjanya yang kutahu mulai meragu. bintang itu pasti tak sehangat diriku saat memelukmu
bulan, boleh kita bertukar cerita malam seperti dulu? aku rindu, padamu
bisu, kamu bisu, kamu selalu membisu. bulan, tolong urai
mataku bukan semacam tayangan biru yang mencandu, jadi tak perlu kamu menatapku namun tetap bisu. katamu lebih menagih buatku
maaf aku membasahi timelinemu dengan sedu
matahari mencuri hari, padahal aku masih ingin menanti bulan tanpa pagi, dia mencibir, mengataiku seperti lendir, lemah dan tak berguna
hei lelah, mari bergelayut manja! aku bosan bertatap duka! aku ingin hingar terbaca, lalu nyenyak tercipta, meski bulan masih dalam diamnya
ranum-harum-lebam-kelam-sesak-isak-galau-sengau-rindu-kamu
masih tanpa kata, menunggu tanpa waktu. kamu dimana putus asa? bersembunyi bersama ragu menderu? atau hanya tak ingin bertemu?
hujan diluar mengetuk pintuku. kuhampiri dengan pilu. ada tawa menyesak, rindu menyeruak. dingin sepertinya tidak pernah datang sndiri
sungguh hati dan mata ini bersama-sama ingin terpejam. dinding berdetak, tidak kencang. seperti membaca gundah yang ada. membunuh sisa tawa
Tuhan, boleh aku bertanya? kenapa ada senja yang mematikan bahagia dan menenggelamkan ceria? apa hanya agar aku bertemu bulan dan kebisuannya?
karena jika iya, itu sungguh tak berguna. bulan itu takkan menggembalikan percaya. aku hanya tahu dia. aku hanya pernah mengenalnya
jadi Tuhan, boleh kembalikan aku ke tempat semula?
Tengah malam antara hari pertama dan kedua di bulan tujuh
-2010-
Komentar
Posting Komentar