packing

Pagi tadi ibuk datang mengantar beberapa koper dan kardus kosong, lalu ke kantor. Aku harus segera berkemas. Besok sore jasa pengiriman itu akan datang dan mengambil barang-barang. Aku pindah. Keluar dari rumah pemberian Bapak dan Ibuk. Keluar dari zona nyaman yang setengah menidurkanku dua tahun belakangan. Keluar dari rasa sakit.

Pakaian. Aku akan memulainya dengan tumpukan baju yang tertata wangi di lemariku. Baju tidur, berbagai kaos santai, dress-dress lucu yang casual, dress formal, jeans, legging, sampai pakaian dalam. Semua masuk di dua koper besar dan satu koper sedang. Lemari itu kosong. Sejenak lalu, aku masih memandangnya penuh sesak. Berbagai warna tertata. Padat yang ceria. Kini kosong. Sepi. Seperti hati yang dulu tersesaki tawa denganmu. Aku ingat dulu kita sering menghabiskan malam berdua di kedai kopi. Tak ada satupun dari kita yang memesan kopi. Secangkir susu hangat di tanganmu beradu dengan nafas yang kamu tiup untuk mengusir panas di permukaan susu hangat itu. Aku masih sibuk dengan secangkir cokelat panas di tanganku ketika kamu tiba-tiba mendekatkan wajahmu padaku dan berekspresi badut dengan kedua bola matamu yang berpadu di tengah dan bibir yang dipenuhi buih susu putih. Aku tertawa terbahak-bahak sampai ingin kencing. Mukamu yang lucu itu selalu punya cara memancing tawaku yang lama terkurung.

Kututup risleting koper terakhir. Rapi. Tiga koper sudah beres. Kutarik perlahan dan kupindah keluar ruangan. Berat. Memang memindah kenangan itu nyatanya tak pernah seringan datangnya di ingatan. Tiga tahun kita bersama benar-benar menyisakan setumpuk kenangan yang sama sekali tak mudah kusingkirkan. Bahkan untuk menggesernya ke ruangan sebelah hatiku pun masih terlampau berat untukku. Lebih berat dari saat melihatmu duduk di pelaminan itu dengan perempuan pilihan orang tuamu. Aku pikir mereka sudah setuju denganku sebagai calon mantu. Sama seperti restu yang Bapak dan ibuk beri saat kamu datang melamarku sendirian waktu itu. Sepertinya aku tertipu rasa dan kepercayaan dirimu. Saat orang tuamu mentitahkanmu untuk menikahinya, kamu mau. Entah memang kamu penurut atau sekedar tak punya mulut. Aku tak memintamu membantah apalagi durhaka. Hanya sedikit berusaha, mengusahakan apa yang kita punya tiga tahun belakangan. Tapi nyatanya kamu bungkam. Dan aku memilih memberi selamat dengan datang di pesta pernikahanmu meski hati seperti dirajam.

Kuambil satu kardus bekas air mineral. Pigura-pigura ini semacam tak lagi berguna. Kulucuti satu persatu foto di dalamnya dan menumpuk pigura-pigura kosong di dalam kardus. Semua pigura itu berukuran sama. Seukuran postcard. Semua foto yang kita punya memang berukuran postcard. Aku ingat waktu pertama kita mencetak foto berdua kita sepulang menghabiskan akhir minggu di pulau Sempu, dua minggu setelah kita jadian. Foto itu yang pertama terpajang di kamarku. Foto kita yang bergandengan tangan berjalan di pinggir pantai yang difoto candid oleh salah satu teman kita. Tak ada yang direkayasa. Saat itu begitu sederhana. Bergandengan menyusuri pantai kosong. Menikmati kaki yang terdera ombak kecil. Angin santai berhilir. Tenang. Nyaman.

Satu kardus inipun penuh dengan pigura tak bergambar. Entah berapa jumlahnya, tak berminat menghitungnya tadi. Semuanya terbuat dari kayu dan berwarna hitam. Simpel. Seperti rasa yang dulu kita jaga. Kita pernah sesederhana itu mencinta. Saking sederhananya sampai kamu lupa untuk mempertahankannya. Kupandangi nanar semua pigura di kardus di depanku, bergantian dengan setumpuk foto yang berantakan disampingnya. Kenangan ini harus dikemas keluar dari hatiku. Sepertinya juga dari otakku. Aku bergegas mengambil kunci mobil. Gramedia terdekat cuma beberapa kali belokan dari rumah. Parkir dengan cepat lalu menuju bagian stationary. Bukan, aku tidak butuh pigura lagi, kataku dalam hati sambil melewati bagian pigura. Yang kutuju cuma satu, album foto. Kuambil satu yang berukuran sedang, membayarnya di kasir dan kembali pulang.

Sampai di kamar, dengan sigap kutata foto-foto tadi di album. Kuambil beberapa foto lain yang tersimpan di dompet dan boks kecil di meja riasku. Selesai. Ternyata album sedang ini pas untuk sekotak kenangan tentangmu.

Kuambil satu kardus kosong lainnya. Kuisi dengan album kenanganmu, sebuah bola salju berisi sepasang beruang bermain ayunan, kacamata pemberianmu yang membuatku tak pernah bisa menoleh pada orang lain, flat shoes ungu yang kamu beli saat heelsku patah di satu mall, payung lipat yang kita beli bersama di jogjakarta dan sejutmput rasaku yang masih tersisa untukmu. Kututup rapi dengan isolasi. Kuambil spidol besar marker warna hitam. Kutulis dengan jelas di bagian atas, kenangan.

Cukup packingku hari ini. Biar semua cerita tertata sempurna di satu kotak masa lalu dan kusimpan bersama sendu membisu. Nyatanya memang aku tak bisa lupa, tapi aku sadar tak perlu juga mengingatnya di setiap langkah. Saatnya pindah ke tempat baru. Kadang kita memang harus meletakkan masa lalu di satu sudut biru untuk bisa bertahan dan berjalan maju. Sepertiku yang tak mungkin lagi mengharapkan lelaki beristri. Aku pindah.

The U coffee.book.music
March 4, 2011

Komentar

Postingan Populer