ketika hujan

Rintik air hujan sore ini terasa berbeda untukku. Kulihat diluar sana air makin deras tercurah. Bukan hanya basahi tanah yang tak lagi merah, tapi juga hatiku.

Dia sudah pergi. Aku benci merasa begini. Aku benci diriku yang selemah ini.

Ingatanku kembali pada hari sebelum ini, disini, di meja yang sama. Kulihat dia duduk di depanku dengan muka tertunduk beku. Aku masih tak menyangka, kalau dia akan benar-benar mengatakan itu. Mengatakan bahwa dia akin pergi meninggalkanku. Dia bilang, dia melepaskanku karena menyayangiku. Dia melepaskanku untuk membiarkanku bernafas dengan kebebasanku. Dia melepaskanku karena dia merasa aku terbelenggu. Sementara dia mencoba menutupi yang meski aku tahu, dia ingin membiarkan dirinya bernafas dengan kebebasannya karena dia merasa terbelenggu denganku.

Kadang aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya. Aku tak pernah membiarkannya melepas mimpi yang dia selalu punya. Aku mendukung semua keputusannya. Menuruti semua maunya untuk menutupi hubungan yang kami punya selama ini.

Aku diam.

Aku mau berpura-pura tidak tersakiti ketika melihat dia berjalan dengan lelaki lain pilihan ibunya. Aku mau berpura-pura menjadi sekedar teman baiknya ketika semua temannya datang ke pesta ulang tahunnya. Tidak mengecup keningnya ketika dia selesai meniup lilin. Tidak memeluknya ketika dia bersedih saat ibunya meninggal.

Aku menahan.

Aku tak keberatan ketika aku hanya punya waktu saat sore tiba untuk bersama. Aku tak apa ketika foto berdua yang kami punya dibakar dengan amarah oleh kakaknya yang akhirnya tahu hubungan kami berdua.

Aku mencoba lupa.

Tapi sepertinya dia tidak mengingat itu. Saat ibuku menamparku yang masih tetap memaksa untuk bersamanya meski semua melarang. Dia tidak mengingat semua yang sudah kulakukan untuknya.

Aku bahagia ketika melihatnya bahagia. Menatap senyumnya ketika bercrita tentang mimpi yang dia punya. Aku bangga ketika dia mampu bangkit dari keterpurukannya.

Tapi bukan berarti aku dengan mudahnya melepas semua. Melepas dia dari pelukanku. Melepas dia dari hatiku. Dia perempuanku.

Diluar masih hujan, makin deras.

Kuangkat cangkir cappucino yang kupesan dari tadi dengan enggan. Sudah mulai dingin.
Aku tahu aku tak bisa terus begini. Membiarkan semua berlalu begitu saja tanpa menyentuhnya lagi. Aku tahu aku akin makin terpuruk dengan ketidakadaan satu-satunya perempuan yang kucinta selain ibuku. Tapi bohong rasanya kalau aku berkata aku akan bangkit dengan mudah dan meninggalkan bayangnya.

“Mba Deniar….sendirian aja, Mba?”

Aku menoleh. Seorang perempuan manis dengan kemeja kerjanya menyapaku hangat. Aku tersenyum. Dia tahu senyumku kupaksakan. Dan tiba-tiba dia duduk di depanku dengan manis, memegang tanganku hangat dan berkata, “Saya tahu semua tentang Mba dan Fennyta. Mba yang kuat ya.”

Hujan masih deras diluar sana. Namun hanya perempuan di depanku yang melihat hujan dalam hatiku.

Dia tersenyum, masih menggenggam tanganku. Dan seketika aku tahu, aku harus menutup kisahku.

Komentar

Postingan Populer