MENIKAHI LELAKI

Aku memintanya menikahiku kemarin. Ibuku hampir pingsan mendengarku menceritakannya. Beliau memarahiku atas kekurangajaranku memaknai kepantasan sebagai perempuan sekarang. Kata beliau, perempuan sepertiku tak pantas melakukannya. Perempuan sepertiku, yang mempunyai aliran darah yang dianggap orang biru, tak boleh mengucapkan permintaan yang bisa menurunkan derajatku sebagai perempuan keturunan ningrat.

Aku hanya ingin meraih kebahagiaanku. Ibuku makin marah mendengar alasanku itu. Bagi beliau, kebahagiaan perempuan adalah saat dilamar baik-baik oleh seorang lelaki baik-baik pada saat yang baik.

Bagiku, itu semua hanya kebenaran yang dibuat orang-orang tua. Dalam kata lain, alasan tak penting.

Aku tak lagi peduli. Aku mencintainya, tapi aku tak sanggup lagi menunggunya sekian lama hanya untuk mendengar kalimat will you marry me? darinya.

Aku tahu, dari lama dia sudah mengatakan niatnya untuk menikahiku saat dia siap. Itulah permasalahannya. Dia tak pernah berkata siap untuk melakukan sebuah pernikahan dengan alasan klise, aku belum punya cukup tabungan untuk membiayai hidup kita.

Fine then. Kapan sih manusia pernah merasa cukup atau siap? Sepertinya terlalu naif kalau kita menunggu cukup atau siap itu untuk memulai satu hal. Sayang, dia masih sangat naif.

Aku bukan tidak punya harga diri. Aku hanya merasa aku punya hak yang sama. Kebetulan aku bukanlah perempuan yang hanya ingin dinikahi. Aku ingin menikah dengannya, dinikahi olehnya atau menikahinya. Terserah siapa yang berani memulai untuk membuka gerbang itu.

Ibu masih menghela nafasnya berat. Mungkin beliau tak menyangka anak gadisnya akan sangat nekat untuk mengajak seorang laki-laki menikah.

Ibu, aku tidak sedang bercanda. Kemarin aku benar-benar datang ke rumah mas Broto untuk bertemu orang tuanya dan mengatakan bahwa aku siap menikahinya.

Suasana di rumah tiba-tiba hening. Semua mata memandangku tajam, seolah ingin memakiku namun tertahan tangis ibu yang sejenak kemudian meledak sempurna. Ayah bangkit. Beliau yang sedari tadi terdiam, sepertinya sudah tak tahan lagi menyimpan suara.

Ayah tak menyangka kamu bisa sedemikian gila. Sekarang, lebih baik, minta masmu itu untuk melamarmu dengan resmi, atau kamu pergi dari sini. Ayah tak ingin mendengar omong kosong darimu lagi. Ingat nduk, kamu itu perempuan. Sudah kodratmu untuk dilamar seorang laki-laki, bukan malah melamarnya! Kamu sudah salah kaprah mengartikan kebebasan yang ayah berikan padamu sebagai perempuan. Percuma ayah menyekolahkanmu hingga bergelar master jika hanya untuk menjadi seorang pembangkang kodrat!

Pukulan telak pertama kuterima. Terima kasih ayah atas komentarnya. Jadi, ayah mau ikut aku melamar mas Broto dengan resmi besok minggu?

Plak!!

Tamparan manis menyapa pipiku hangat.

Ibu menjerit...

Ibu, maaf..aku bukan ingin menyakiti ayah dan ibu. Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk hidupku. Aku berhak kan bu?

Sudah. Kamu perempuan, nak!

Memangnya salah kalau aku ingin menikahi mas Broto?

Plakkk!!!!

Komentar

  1. endingny koq gitu.....???? g asik nie?? akhirny ma broto tuh gmn??? cm gitu doang??? g asik... bersambungkah ato gmn??? org d bikin penasaran...

    BalasHapus
  2. siip dah......ibu bunga satu ini mewakili jiwa kaum-nya banget......pemberontakan-pemberontakan dalam diri kaum-nya tersirat dan tersurat penuh makna...bagi para reader yang lain, jadikan ini sebagai motivasi bukan penghalang untuk tetap berkarya sesuai hati nurani dan tema apa yang bergejolak di hati bout ending...u may predict........yes u can.......it's cool mam....!

    BalasHapus
  3. 2 anonim: emang endingnya dibikin gitu...kupikir aku ga perlu defining bagaimana akhir dari cerita ini. kalian boleh menebak, mengira-ira, menentukan, memandang atau bahkan memutuskan mengakhiri cerita ini seperti apa. terima kasih sudah membaca ya...

    2 ike: betul ibu...terkadang perempuan terikat dengan satu hal bernama tradisi. yang mengkotakkan perempuan untuk hanya menjadi objek (seperti DINIKAHI, bukan menikah atau bahkan menikahi). tulisan ini sekedar buah pikiran. tercipta tanda tendensi apapun. karna saya tahu, saya juga perempuan semacam itu, yang masih saja membiarkan diri terikat tradisi. terima kasih comment nya...

    BalasHapus
  4. keren..cerpenmu makin oke aja bung...lugas dan mengena..pertanyaannya adakah perempuan yg berani melakukannya?

    anggi

    BalasHapus
  5. 2 anggi: tengkyu bu...hahaha, ini hanya terjadi di dunia maya...seperti yg saya bilang di atas, saya juga perempuan yang sangat terikat oleh tradisi. saya suka tradisi, namun saya tidak menyukai keterikatan tradisi...tapi saya adalah salah satu yang terjebak di dalamnya tanpa tahu jalan keluarnya...mungkin, seperti anda juga?

    BalasHapus
  6. di Lamongan kabupaten tradisinya justru perempuan yang melamar. Jadi pihak perempuan membawa banyak barang, atau biasa disebut peningset, ke rumah si cowok dengan mewah> Barangnya bisa macam2. Yang pasti makanan, perhiasan, perabotan, de el el deh.
    Islam justru tidak melarang. Malahan wanita boleh melamar. Jadi Bunga (bukan nama samaran) bisa minta walinya untuk melamar sang lelaki. Ga' perlu bawa barang2. Verbal aja dulu.
    bawa aja senjata tajam, jadi kalo ditolak pisau bertindak....hehehe becanda!!!

    BalasHapus
  7. gila... aplause! flow you are the one. You can make it.

    BalasHapus
  8. 2 somad: betulkah? waduh, brarti studiku musti dipertajam ni...salah sendiri sasing baru menelurkan program kuliah feminisme di akhir masa skripsiku...terima kasih infonya ya...juga saran yg keren banget (terutama bagian bawa senjata tajamnya!) hehehe
    mampir sini lagi ya pak kapan2!

    BalasHapus
  9. 2 icham yg pake nama pemuda untuk bangsa:
    maturnuwun pak...masih butuh masukan banyak...mohon bantuan ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer