the untitled
aku mengenal sosok itu.
sejenak langkah yang tadi begitu cepat dan mantap mendadak membisu.
aku beku melihatmu yang juga tiba-tiba termenung tanpa mampu menyapa dahulu.
satu detik, dua detik dan berpuluh-puluh detik terlewatkan tanpa kedipan yang berarti.
hingga...
"Ayah, kok tiba-tiba diem gitu?"
seorang perempuan datang mendatangi lelaki yang terdiam di depanku.
"Eh, mbak, temen si ayah ya?"
perempuan itu kemudian beralih padaku yang masih beku.
senyumnya merekah.
cantik.
secantik bayi di gendongan depan lelaki itu.
sebuah tangan terulur.
"Hai, saya Finda, istri Rei. Mba ini temen Rei ya?"
tanpa kata kubalas jabatan tangan itu, hampa dan kepalaku tanpa kusuruh pun mengangguk begitu saja.
"waaah, mba cantik sekali....kok ayah ga pernah cerita yah kalau punya temen yang manis kayak gini..."
dia tertawa. manis dan renyah, seperti roti marie yang baru dibuka bungkusnya.
"Ayah kok diem aja ketemu temen lama...ngobrol dong..."
dengan kaku kulihat senyum itu merekah juga, sengaja dipaksakan lepas agar tak terlihat.
tapi aku melihat.
aku tahu kamu tidak senang bertemu denganku sekarang, Rei.
dengan seorang bayi di gendongan dan istri yang menggelayut mesra di lengan.
"Oia mba, ini putri pertama kami, umurnya baru delapan bulan. lucu yah? kayak aku apa kayak ayahnya mba? coba deh liat kalau dia senyum...manis yah?"
suara perempuan itu masih terus menggelegar, namun terasa makin jauh tertangkap di telingaku.
mataku masih tertuju pada lelaki itu yang masih menatapku.
dan ingatanku kembali ke masa tiga tahun lalu ketika dia datang ke pintu rumahku, sepulang meeting panjangnya di luar kota hanya untuk meminta satu kesempatan lagi, untuk lepas dariku.
aku menderu dalam tangis panjang. bagaimana tidak, lelaki yang sudah nyaris lima tahun mengisi hidupku tiba-tiba mengundurkan diri. dan tanpa kutahu lagi, dia menghilang di esok hari tanpa pernah nampak lagi. tak pernah lagi kudengar panggilan pagi bersama dering telepon yang membangunkanku di subuh hari dengan permainan pianonya. tak pernah lagi kuhabiskan beribu malam dalam gelap sambil mengecap bintang. tak pernah lagi kudengar kata sayang yang mengiringi nama tengahku yang dia katakan berjodoh dengannya karena kegilaannya pada musik.
kini, ketika lukaku mulai sembuh, dan aku mulai tidak memikirkan lagi keberadaannya, dia tiba-tiba muncul di hadapanku. dengan istri dan anak perempuannya.
"Mba, mba kok pucet yah? lagi dapet atau belum makan ni? kalau belum makan, gimana kalau mba, aku, ayah dan celia makan bareng?"
jantungku nyaris copot mendengar nama terakhir yang dia sebut.
"mba, mba sebut siapa tadi?"
perempuan itu kaget melihatku yang tiba-tiba bersuara dan mengarah padanya.
"Eh, siapa ya? aku cuma nyebut, mba, aku, ayah dan celia, bayi kami!"
seperti sebuah crane jatuh menimpa pohon cabe. dia beri nama bayinya Celia? kenapa Tuhan?
mataku mengarah padanya. lelaki itu tertunduk. sungguh aku tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki di depanku ini.
"Oia, sampe lupa, nama mba siapa yah? ga enak banget kalau kita makan bareng tapi belum sempet kenalan, hehehe, maaf yah, aku suka kelepasan ngoceh kalau ketemu orang..."
aku diam. menunggu sesuatu keluar dari mulut lelaki ini.
tapi sayang, menunggunya menyelamatkan suasana sama seperti menunggu bintang jatuh ke genggamanku.
kutarik nafas berat.
perempuan itu mendekat.
"Mba, nama mba?"
matanya menatap lekat mataku. senyumnya yang mengembang sempurna sedari tadi mendadak sirna ketika kusebut, "Aku Celia. Celia Rawestina"
sejenak langkah yang tadi begitu cepat dan mantap mendadak membisu.
aku beku melihatmu yang juga tiba-tiba termenung tanpa mampu menyapa dahulu.
satu detik, dua detik dan berpuluh-puluh detik terlewatkan tanpa kedipan yang berarti.
hingga...
"Ayah, kok tiba-tiba diem gitu?"
seorang perempuan datang mendatangi lelaki yang terdiam di depanku.
"Eh, mbak, temen si ayah ya?"
perempuan itu kemudian beralih padaku yang masih beku.
senyumnya merekah.
cantik.
secantik bayi di gendongan depan lelaki itu.
sebuah tangan terulur.
"Hai, saya Finda, istri Rei. Mba ini temen Rei ya?"
tanpa kata kubalas jabatan tangan itu, hampa dan kepalaku tanpa kusuruh pun mengangguk begitu saja.
"waaah, mba cantik sekali....kok ayah ga pernah cerita yah kalau punya temen yang manis kayak gini..."
dia tertawa. manis dan renyah, seperti roti marie yang baru dibuka bungkusnya.
"Ayah kok diem aja ketemu temen lama...ngobrol dong..."
dengan kaku kulihat senyum itu merekah juga, sengaja dipaksakan lepas agar tak terlihat.
tapi aku melihat.
aku tahu kamu tidak senang bertemu denganku sekarang, Rei.
dengan seorang bayi di gendongan dan istri yang menggelayut mesra di lengan.
"Oia mba, ini putri pertama kami, umurnya baru delapan bulan. lucu yah? kayak aku apa kayak ayahnya mba? coba deh liat kalau dia senyum...manis yah?"
suara perempuan itu masih terus menggelegar, namun terasa makin jauh tertangkap di telingaku.
mataku masih tertuju pada lelaki itu yang masih menatapku.
dan ingatanku kembali ke masa tiga tahun lalu ketika dia datang ke pintu rumahku, sepulang meeting panjangnya di luar kota hanya untuk meminta satu kesempatan lagi, untuk lepas dariku.
aku menderu dalam tangis panjang. bagaimana tidak, lelaki yang sudah nyaris lima tahun mengisi hidupku tiba-tiba mengundurkan diri. dan tanpa kutahu lagi, dia menghilang di esok hari tanpa pernah nampak lagi. tak pernah lagi kudengar panggilan pagi bersama dering telepon yang membangunkanku di subuh hari dengan permainan pianonya. tak pernah lagi kuhabiskan beribu malam dalam gelap sambil mengecap bintang. tak pernah lagi kudengar kata sayang yang mengiringi nama tengahku yang dia katakan berjodoh dengannya karena kegilaannya pada musik.
kini, ketika lukaku mulai sembuh, dan aku mulai tidak memikirkan lagi keberadaannya, dia tiba-tiba muncul di hadapanku. dengan istri dan anak perempuannya.
"Mba, mba kok pucet yah? lagi dapet atau belum makan ni? kalau belum makan, gimana kalau mba, aku, ayah dan celia makan bareng?"
jantungku nyaris copot mendengar nama terakhir yang dia sebut.
"mba, mba sebut siapa tadi?"
perempuan itu kaget melihatku yang tiba-tiba bersuara dan mengarah padanya.
"Eh, siapa ya? aku cuma nyebut, mba, aku, ayah dan celia, bayi kami!"
seperti sebuah crane jatuh menimpa pohon cabe. dia beri nama bayinya Celia? kenapa Tuhan?
mataku mengarah padanya. lelaki itu tertunduk. sungguh aku tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki di depanku ini.
"Oia, sampe lupa, nama mba siapa yah? ga enak banget kalau kita makan bareng tapi belum sempet kenalan, hehehe, maaf yah, aku suka kelepasan ngoceh kalau ketemu orang..."
aku diam. menunggu sesuatu keluar dari mulut lelaki ini.
tapi sayang, menunggunya menyelamatkan suasana sama seperti menunggu bintang jatuh ke genggamanku.
kutarik nafas berat.
perempuan itu mendekat.
"Mba, nama mba?"
matanya menatap lekat mataku. senyumnya yang mengembang sempurna sedari tadi mendadak sirna ketika kusebut, "Aku Celia. Celia Rawestina"
Dear Bunga,
BalasHapusThank you for letting me know about what's in your mind. Generally, you've a talent as a writer, at least you already moved from your first step. Just keep writing and make other turning point of your stories or other improvement of "behind the scene" differential.
most of your stories were predictable, don't make it flat.. I believe you can hardly push your creative idea for the better one.
Do your coffee thing at the unpredictable place...you'll get what you want...
Good Luck, CLW
dear CLW,
BalasHapusThe pleasure is mine...
it's really great to hear your comment.
yup, i knew i'm stuck in the predictable ending lately,
i'm working on it...
thank's a lot for giving your time for reading n commenting my words...
i like this one!
BalasHapusanggi
2 anggi:
BalasHapusthx a lot for liking it!
aku sukaaaa! tulisannya bagus mbak. ak gak ngerti istilah2 penulis macem predictable unpredictable ato apalah itu. tp yg jelas begitu baca aku langsung suka. nulis terus yaa :)
BalasHapushahaha....terima kasih imon...
BalasHapusbaca2 yang laen juga...ditunggu masukannya